Monday, December 03, 2007

Sintren

Judul : Sintren
Penulis : Dianing Widya Yudhistira
Editor : A Ariobimo Nusantara
Penerbit : Grasindo
Cetakan : 2007
Tebal : 296 hlm

Sintren, adalah salah satu kesenian tradisional masyarakat sepanjang pesisir pantura, seperti Cirebon, Indramayu dan Pekalongan. Sintren adalah sebuah tarian yang berbau mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dan Raden Sulandono. Sulandono adalah putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung melalui alam roh. Pertemuan tersebut diatur oleh ibu Sulandoro, Dewi Rantamsari dengan memasukkan roh bidadari ketubuh Sulasih, pada saat itu pula Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan Sulandono.

Kisah diatas mendasari timbulnya kesenian sintren. Sesuai tradisi Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawangnya dan diiringi gending si penari akan dimasuki roh bidadari sehingga si penari akan menari dalam keadaan trance. Sesuai pengembangan tari sintren sebagai hiburan budaya maka kesenian ini dilengkapi dengan penari pendamping dan bador (lawak).

Pementasan Sintrén diawali dengan seorang gadis yang menari dengan pakaian seadanya (biasanya berkaus putih) ditemani dua dayang. Lalu nyanyi-nyanyian pun ditembangkan. Seorang dalang kemudian mengikat sintren dengan tali di sekujur tubuhnya sambil membaca mantra khusus. Lalu sintren akan pingsan dan dalam keadaan terikat, ia dimasukkan ke dalam kurungan ayam (yang diselubungi kain diluarnya) diiringi bacaan mantra sang dalang dan tembang-tembang.

Sesaat kemudian kurungan dibuka dan tiba-tiba sintren tersebut sudah memakai pakaian khas penari sintren lengkap dengan memakai kacamata hitam. Dalam keadaan trance Sintren akan terus menari, bahkan ia sanggup menari diatas kurungan ayam yang terbuat dari bambu. Selama menari inilah para penonton diperkenankan menari bersama Sintren dan memberinya uang saweran. Tarian ini berakhir ketika dalang membuat gadis tersebut tak sadarkan diri, dan memasukkannya kembali ke dalam kurungan. Saat dibuka, si gadis sudah kembali berpakaian seperti semula dan dalam kondisi terikat di sekujur tubuhnya persis seperti pada saat awal ia dimasukkan dalam kurungan.

Kesenian Sintren ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri., kini Sintren hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara besar atau pada hajatan-hajatan orang kaya di kampung. Jarang sekali bahkan hampir tak pernah sintren muncul di layar kaca yang semakin kini semakin dirajai program-program terbarunya nya yang membuat kita lupa akan akar budaya kita. Begitupun dalam ranah pustaka, rasanya hampir tak ada yang membahas secara khusus mengenai kesenian Sintren. Untunglah penulis muda Dianing Widya Yudhistira mengangkat Sintren sebagai judul dan tema sentral dalam novel perdananya ini.

Mau tak mau apa yang dilakukan Dianing ini mengingatkan kita pada penulis senior Ahmad Tohari yang pernah mengangkat salah satu kesenian Jawa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan hingga kini novel tersebut masih terus dicetak ulang. Walau dari segi cerita dan kedalamannya berbeda namun dua-duanya mengetengahkan cerita fiksi yang dibalut dalam aroma budaya lokal yang tumbuh di masyarakat jawa.

Novel Sintren mengisahkan kisah hidup seorang penari Sintren yang bernama Saraswati.
Saraswati adalah gadis desa yang baru berusia 12 tahun, ia gadis yang lugu namun pintar dalam sekolahnya dan memiliki tekad yang kuat untuk melanjutkan sekolahnya hinga SMP. Ibunya seorang buruh nelayan, sedangkan ayahnya seorang tukang becak. Kesulitan hidup membuat ibunya yang nyinyir berusaha mengangkat derajat kehidupan mereka dengan menjodohkan Saraswati dengan Kirman, putra juragan Wargo, majikannya. Awalnya Saraswati menolaknya karena ia masih ingin bersekolah , namun akibat desakan ibunya, Saraswati terpaksa menerima dirinya untuk dijodohkan dengan Kirman.

Namun sesaat menjelang upacara tunangan, tiba-tiba Juragan Wargo membatalkan niatnya secara sepihak. Diam-diam Saraswatipun merasa lega karena dengan demikian ia masih memiliki peluang untuk melanjutkan sekolahnya.

Belum lagi ia bisa bernafas lega, tiba-tiba Larasati yang sedang mencari penari Sintren melihat bahwa Saraswati tampaknya cocok untuk menjadi seorang penari Sintren. Hal itu diutarakannya pada Ibu Saraswati. Tanpa mendiskusikannya dulu dengan suami dan anaknya. Ibunya menyetujuinya dan langsung menerima uang panjar sebagai tanda kesepakatan untuk menyerahkan Saraswati menjadi seorang Sintren.
Lagi-lagi Saraswati dan ayahnya tak bsia menolak keinginan ibunya, apalagi Saraswati diiming-imingi sejumlah harapan memperoleh uang banyak yang bisa dipakaianya untuk melanjutkan sekolahnya ke SMP.

Maka setelah melalui prosesi penyeleksian yang dilakukan oleh Mbah Mo selaku dalang sintren, Saraswati dinyatakan lulus sebagai seorang penari Sitnren karena dari beberapa orang yang diuji hanya Saraswati yang lolos dari ujian dan tidak pingsan atau kesurupan ketika dimasukkan dalam sangkar ayam yang telah dimanterai oleh Mbah Mo.

Setelah Saraswati menjadi seorang Sintren, Saraswati berubah dari gadis yang lugu menjadi gadis yang memiliki kharisma seorang penari. Ia kini tak terlihat lagi sebagai seorang anak-anak. Saraswati yang tadinya seorang anak yang lugu dan kurang pecaya diri, kini tampil menjadi gadis yang percaya diri dan berani melawan kesewenang-wenangan yang diperbuat kawan-kawannya. Saraswati juga tampak lebih dewasa, selain itu dari aura tubuhnya memancarkan keelokan dan kemolekan seorang penari Sintren yang menbuat banyak lelaki terpana dan ingin mempersuntingnya.

Saraswati kini menjadi seorang penari Sintren yang terkenal, otomatis ia memperoleh uang yang banyak. Cita-citanya untuk melanjutkan sekolah ke SMP tercapai. Para lelaki berduyun-duyun hendak melamarnya. Namun kesuksesan materi ini harus dibayar dengan sejumlah peristiwa ganjil dan tidak mengenakkan. Pesona Saraswati membuat para lelaki di kampungnya baik yang sudah beristri maupun bujangan berniat melamarnya, tentu saja hal ini menjadi gunjingan tak sedap di kampungnya.

Saraswati akhirnya menerima pinangan seorang laki-laki, sayangnya belum sempat lelaki itu menyentuhnya, suaminya tiba-tiba meninggal dunia. Saraswati akhirnya menjadi janda, namun karena masih banyak yang mau menimangnya iapun segera menikah kembali, namun seperti suaminya yang pertama suami Saraswati yang keduapun meninggal sebelum menyentuhnya. Hal ini terus berulang. Saraswati menikah hingga empat kali namun semua suaminya harus mati mengenaskan sebelum menyentuh dirinya. Saraswati tetaplah seorang gadis.

Ia memang menjadi penari yang sukses dan memikat para penontonnya. Namun ada harga yang harus dibayar. Ia dianggap membawa sial bagi kampungnya karena setiap lelaki yang menikahinya pasti meninggal dunia. Ada apa gerangan dalam diri Saraswati apakah roh gaib yang memilihnya menjadi seorang Sintren tak rela jika Saraswati menikah dan berhenti menjadi seorang penari Sintren ?

Kisah Saraswati mengalir dengan lancar dan menarik dalam novel setebal 296 halaman ini. Dianing menuliskan novelnya dengan kalimat-kalimat yang sederhana. Tak ada penggunaan metafora yang berbunga-bunga yang kadang membingungkan pembacanya. Dianing menuliskannya dengan, lancar dan enak dibaca. Alurnya linier, tak berkelok-kelok dan langsung pada menuju inti cerita. Walau plot, kisah dan penggunaan kalimat-kalimatnya tampak sederhana, justru disinilah salah satu keistimewaan novel ini.

Bentuk penyajian novel yang sederhana dan lugas ini menjadi pas sekali dengan kesederhaaan kehidupan masyarakat peisisiran yang menjadi setting utama novel ini. Kultur dan kebiasaan masyarakat setempat mewarnai seluruh novel ini. Dengan demikian Dianing membawa pembacanya masuk kedalam realitas keseharian yang terjadi di tengah masyarakat Jawa Tengah lengkap dengan tradisi keseniannya yang paling menarik perhatian.

Dianing juga menjawab apa yang menjadi pertanyaan setiap orang yang pernah melihat tarian sintren, “Apa yang dirasakan seorang sintren ketika ia sedang menari?”. Novel ini mengungkap apa yang dialami, dilihat, dan dirasakan Saraswati ketika ia sedang menari Sintren. Dikisahkan dalam novel ini bahwa jiwa Saraswati terpisah dari raganya. Raganya dipinjam oleh ‘mahluk halus’ yang membantunya menari. Hal ini seolah menegaskan bahwa kesenian Sintren dilakukan tanpa trik-trik khusus yang menipu penontonnya. Sintren seperti halnya kesenian ronggeng, tayub, reog, dan debus tidak semata dikendalikan oleh kekuatan manusia biasa. Ada unsur mistis yang ikut mewarnai kesenian Sintren, dan ini bukan hal yang aneh karena masyrakat Indonesia toh memiliki sejarah animisme yang berkembang jauh sebelum masuknya agama-agama besar di Indonesia.

Satu hal yang tampaknya kurang dalam novel ini adalah Dianing tak menjelaskan dengan rinci bagaimana kesenian Sintren terbentuk, padahal hal ini sangat memungkinkan diungkap melalui dialog sederhana antara Saraswari dengan Larasati atau Mbah Mo yang membimbingnya menjadi seorang penari Sintren. Jika saja hal ini diungkap, pembaca pasti akan memperoleh wawasan baru mengenai latar belakang keseian sintren.

Novel ini juga tak menjelaskan kenapa Saraswati yang sama sekali tak memiliki darah seniman tiba-tiba bisa menjadi penari Sintren yang sukses. Novel ini hanya mengungkap bahwa Sintren yang ada dalam tubuh Saraswati adalah sintren Den Ayune Lanjar, sintren saksti yang memiliki kecantikan luar biasa. Tentunya akan lebih menarik jika diberikan penjelasan apa keistimewaan Saraswati sehingga Den Ayu Lanjar memilih tubuh Saraswati untuk dirasukinya.

Namun bagaimanapun novel yang sebelumnya pernah dimuat bersambung di harian Republika pada tahun 2005 ini patut diapresiasi dengan baik. Ditengah ragamnya tema-tema fiksi lokal yang mengupas habis kehidupan masyarakat urban modern, sejarah sejarah, politik, fantasi, dll , kehadiran novel Sintren yang membawa muatan lokal plus mengangkat ke permukaan tradisi kesenian Sintren yang hampir terkubur ini memberikan pilihan baru yang menyegarkan sekaligus menambah wawasan bagi pembaca buku-buku fiksi tanah air.

Tak heran jika novel ini terpilih dalam long list (10 besar) kategori Prosa Khatulistiwa Literary Award 2007 , ajang lomba bagi dunia literer yang menggelontorkan uang sebesar 100 juta rupiah plus studi ke luar negeri kepada pemenang pertamanya. Mampukan Sintren, novel perdana yang ditulis oleh penulis muda kelahiran Batang- Jawa Tengah ini bersaing dengan sembilan penulis lainnya di bidang prosa seperti Andrea Hirata, Akmal Nasery Basral, Cok Sawitri, Gus TF Sakai, Noorca M Yudisthira, dll ? Saya pribadi mengharapkan Sintren akan masuk dalam short List (5 besar) KLA 2007 untuk kategori Prosa. Dengan demikian novel ini semakin dibaca orang dan salah satu kesenian lokal yang hampir dilupakan orang akan terangkat kembali.

@h_tanzil

4 comments:

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Anonymous said...

maaf sebelumnya,diawal ditulis kalo sintren berkembang dipantura yaitu cirebon,indramayu,pekalongan kenapa Brebes tidak ditulis padahal disana masih banyak seniman sintren coba datang aja ke desa kedunguter trima kasih

Unknown said...

mas bli bukunya di mana?
saya mahasiswa sejarah yang ingin mengetahui tentang sintren

Dodi Nurdjaja said...

Saya asli orang Cirebon, tapi KTP Jakarta (saat sekolah dan kerja di LSM). Baru-baru ini saya membuat blog, catatan seputar Cirebon dan catatan "Behind the Screen"-nya. Salah satu postingan saya adalah "Sintren" (http://t.co/5qMIYFni). Saya tulis se-konfrehensif mungkin dengan analisa sejarah panjang yang saya atur dalam pembabakan penulisan populer. Mohon dibandingkan, jika tidak keberatan.
Makasih.