Judul : Mahasati
Penulis : Qaris Tajudin
Editor : Aries R. Prima
Penerbit : PT. Andal Krida Nusantara / AKOER
Cetakan : I, Mei 2007
Tebal : 392
Cinta adalah persoalan yang tidak pernah selesai, demikian yang selalu dikatakan Kef (Kurnia Effendi), cerpenis senior yang cerpen-cerpennya umumnya bertutur tentang kisah-kisah cinta yang sanggup megaduk-ngaduk perasaan pembacanya. Apa yang dikatakan Kef memang benar, cinta memang selalu membawa sejumlah persoalan baik itu yang manis maupun yang pahit. Karenanya kisah cinta tak akan pernah habis dikisahkan oleh para pujangga selama manusia masih dikaruniai hati dan perasaan. Kisah Cinta mungkin akan berakhir jika manusia punah dan digantikan oleh sebentuk robot tanpa hati.
Qaris Tajudin, wartawan Tempo yang sehari-hari melihat dan menyaksikan rangkaian fakta untuk dirawinya menjadi sebuah tulisan jurnalisme tampaknya tergerak untuk menulis kisah fiksi bernuansa cinta. Dalam novel perdananya ini Qaris mengisahkan tokoh Andi yang memiliki persoalan dengan cintanya. Namun jangan berharap novel ini bernuansa merah jambu, kisah cinta dalam novel ini terasa kelam, bukan berarti penuh dengan narasi keputusasaan karena kegagalan cinta diselubungi oleh kisah pelarian cinta tokohnya yang berkelana ke daerah konflik panas di Afghansitan.
Novel ini diawali sebuah peristiwa ketika Andi baru saja menghadiri pemakaman Yoyok, sahabat masa kecilnya. Di pemakaman ini Andi bertemu kembali dengan sahabatnya, Sati. Yoyok, Andi, dan Sati telah membangun persahabatan yang sangat akrab sejak masa kecil. Mereka sama-sama tumbuh menjadi dewasa hingga akhirnya kedekatan ini menimbulkan benih cinta antara Andi dan Sati. Namun benih cinta itu tak jadi tumbuh dengan semestinya karena sebuah peristiwa menyebabkan ketiga sahabat ini harus berpisah dan menjalani kehidupannya masing-masing. Yoyok sebagai perajin emas, Andi sebagai wartawan, sedangkan Sati berkarier menjadi seorang model dan desainer.
Peristiwa kematian Yoyok ternyata membuat benih-benih cinta yang penah tertanam dan mati suri antara Andi dan Sati kembali bersemi. Walau Larasari telah memiliki seorang anak dari seorang tanpa ayah yang resmi namun itu semua tak sanggup menghentikan tumbuhnya benih cinta diantara mereka. Namun pohon cinta yang mereka bangun kembali harus layu terkulai. Sati yang sangat mencintai anaknya tiba-tiba saja harus kehilangan hak perwalian untuk mengasuh anaknya. Sati harus terpisah dengan anak yang ia lahirkan dan besarkan selama delapan tahun dengan penuh kasih sayang. Sati sangat terpukul dan memilih mengakhiri hidupnya dengan menenggak valium yang membuatnya tidur selamanya. Yang menyedihkan, hingga akhirnya hayatnya Sati tak sempat dan tak diizinkan untuk bertemu dengan anaknya..
Andi yang terlanjur mencintai Sati apa adanya menjadi hancur. Ia menyesal karena selama ini ia tidak mengambil langkah berani untuk menikahi Sati. Andai saja ia berani mengambil keputusan tersebut pastilah ia telah hidup bersama Sati dan bersama-sama membantu Sati mempertahankan anaknya. Untunglah Andi masih tetap berpikir rasional. Kesedihan dan keputusasaannya ia tinggalkan dengan mengambil cuti panjang dan pergi jauh dari Jakarta. Atas anjuran teman lamanya Andi berangkat menuju Tunisia. Niatnya mulia, selain untuk mengusir rasa sedihnya dengan berkelana ke daerah yang benar-benar berbeda agar kenangannya bersama Sati tak terus menyiksanya, ia juga ingin mendekatkan dirinya pada Tuhan dengan cara mendalami ajaran agama di Tunisia sebuah kota yang eksotik dan penuh nuansa keagaamaan.
Di Tunisia Andi menumpang di sebuah toko buku milik Abdalla. Abdalla memiliki seorang anak yang bernama Ahmed, calon dokter yang seumur dengan Andi dan ikut dalam kelompok garis keras islam yang menentang pemerintah. Akhirnya Andi terseret masuk dalam kelompok itu dan merencanakan berbagai misi untuk menggulingkan pemerintah Tunisia. Sebuah peristiwa menyebabkan kelompok ini tercium keberadaannya oleh pemerintah. Andi dan kawan-kawannya masuk dalam daftar orang yang dicari. Dengan bantuan Miriam Ezra, gadis yahudi yang dikenalnya di toko buku Abdalla, Andi dan Ahmed keluar secara diam-diam dari Tunisia menuju Sisilia, Italia. Disana mereka ditampung dirumah ayah Miriam yang ternyata salah seorang gembong Mafia Sisilia.
Tanpa mereka duga, kehadiran Andi dan Ahmed dijadikan sandera oleh ayah Miriam untuk melancarkan bisnisnya. Untunglah mereka berhasil kabur hingga terdampar di Afghanistan. Awalnya Andi dan Ahmed bekerja di sebuah rumah sakit, namun pertemuannya dengan Fairuz membawanya masuk dalam petualangan mendebarkan dengan menjadi anggota pasukan bersenjata indpenden yang tugasnya melindungi kaum nomaden Afghanistan dari serangan para perampok yang menyamar sebagai anggota Mujahidin.
Di gurun-gurun Afghanistan, ditengah terikanya matahari pegunungan Hindu Khuz yang menyengat dan kerasnya hidup, akhirnya Andi menemukan sebuah oase bagi hatinya. Rasa cintanya yang sempat terkubur oleh pasir gurun bersemi kembali ketika ia bertemu dengan Nafaz, seorang putri kepala suku nomaden. Namun pengalaman cinta yang mereka nikmati tak berlangsung lama karena sebuah kontak dengan pasukan Amerika menyeret Andi masuk kedalam kamp tahanan di Guantanamo dimana Andi diinterogasi oleh interogator wanita Amerika berdarah Asia, Lucia Wong. Sebelumnya Andi tak mau membuka mulut ketika diinterogasi, namun pendekatan yang dilakukan Lucia Wong membuatnya luluh dan menceritakan semua kisah hidupnya. Dari penuturan Andi dan sebuah buku catatan yang ditulisnya akhirnya kisah hidup Andi terbuka secara terang benderang.
Novel ini disajikan dengan dua plot dengan dua tokoh sebagai penutur secara berganitan. Pertama tokoh Andi sebagai penutur yang menceritakan kisah kehidupannya, kedua Lucia Wong sebagai interegator kamp tahanan Guantomano yang ditugasi untuk membongkar keterlibatan Andi yang tertangkap patroli tentara Amerika Serikat di Afganistan. Plot pertama bergerak di dalam penjara Guantanamo ketika Lucia Wong menginterogasi Andi. Plot kedua dimulai saat pertemuan kembali Andi dan Sati di pemakaman Yoyok, lalu sejenak kembali ke masa kecil mereka dan terus melaju dengan setting Jakarta-Italia-Tunisia – hingga tentara Amerika menyerang pasukan Andi yang sedang mengawal suku nomaden menuju Asadabad Afghansitan.
Dengan adanya dua plot yang berbeda yang disajikan secara berselang-seling ini, membuat pembaca tak merasa jenuh karena pembaca seakan diberi jeda dari kisah hidup Andi yang suram dan menegangkan. Malah kehadiran plot yang menghadirkan tokoh Lucia Wong membantu pembaca untuk lebih memahami apa yang diperjuangkan oleh Andi karena cintanya.
Selain mengupas karakter Andi dan Sati sebagai tokoh sentral dalam novel ini, Qaris juga mengupas tokoh Lucia Wong. Lucia, adalah seorang wanita dingin yang sejak kecil dididik untuk memenuhi ambisi hidupnya tanpa mempedulikan cinta. Baginya cinta adalah penghalang tujuan hidupnya. Namun ketika ia menginterogasi Andi ia akhirnya sadar bahwa kisah cinta Andi lambat laun membangkitkan sesuatu yang selama ini ia tumpas yaitu kemanusiaan dan cinta yang selama ini ia anggap sebagai penghalang tujuan hidupnya.
Disajikan dengan lancar dan ditaburi oleh petikan puisi-puisi cinta karya penyair lokal (Gunawan Mohamad, WS Rendra, Abdul Hadi) maupun penyair dunia seperti Nizar Qabbani (Arab), Gizan Zenrai (Jepang), Jose Marti (Cuba), dll membuat novel ini terkesan romantis ditengah setting Afghansitan yang keras dan gersang. Suatu paradoks yang justru membuat novel ini menjadi semakin menarik.
Pengalaman Qaris Tajudin selaku jurnalis yang pernah meliput langsung perang terbuka di Afganistan pada tahun 2001 membuat setting landskap dan kondisi sosial budaya masyarakat Afghansitan khususnya suku-suku nomaden tersaji dengan begitu hidup. Untunglah Qaris tidak terjebak dalam penggambaran setting yang berlebihan yang kadang membuat bosan pembacanya dan mengaburkan ceritanya. Qaris tetap setia pada kekuatan kisahnya dengan tetap memberi wawasan yang cukup pada pembacanya mengenai setting dimana kisahnya bergulir.
Walau novel ini memiliki settting Afganistan yang berada dalam situasi konflik politik paska berkuasanya Taliban dimana pemerintahannya menimbulkan pro dan kontra, namun Qaris secara cerdas membuat novel ini tak berpihak pada siapapun. Tokoh Andi diceritakan bergabung dengan pasukan independent yang hanya bertugas melindungi suku nomaden dari para penjarah. Qaris juga secara seimbang menyajikan kebaikan dan keburukan pemerintahan Taliban sehingga novel ini tak memihak pada siapapun kecuali pada kekuatan cinta.
Tampaknya kehadiran novel Mahasati ini cukup menarik perhatian para book bloger yang rajin menulis review atas setiap buku yang telah dibacanya. Setidaknya ada 5 blog yang mengulas buku ini (http://perca.blogdrive.com/, http://qyu.blogspot.com/, http://jodypojoh.blogdrive.com/, http://maxbooks.wordpress.com/, http://jalaindra.wordpress.com) yang masing-masing mengulas dari sudut pandangnya masing-masing. Secara umum semua mengulas secara positif novel perdana Qaris Tajudin ini.
Namun para book bloger ini juga menemukan beberapa lubang seperti, Jody Pojoh yang juga seorang sarjana farmasi menemukan ketidaklogisan soal kematian Sati akibat menegak 3 butir valium @500 grm. Pdahal menurutnya tidak ada valium dengan dosis 500 gr.
Sementara itu Baihaqi mengungkap bahwa di tengah cerita ia merasa seperti seperti sedang membaca sebuah jurnal perjalanan dari pengembaraan orang frustasi. Tapi untunglah ternyata endingnya berhasil dengan baik menutup kisah cinta yang tragis ini.
Endah Sulwesi mempertanyakan Sati yang tiba-tiba saja disebutkan memiliki kelainan jantung. Menurutnya, Qaris seolah-olah ingin mencari gampangnya saja. Padahal, andai tak ada “kelainan jantung”-pun, alasan dan penyebab kematian Sati karena over dosis sudah cukup logis.
Memang itulah ‘lubang-lubang’ yang ada pada novel ini. Saya tak akan menambahkan apapun kecuali lagi-lagi soal kebiasaan penerbit AKOER seringkali tidak memberikan data biografi penulisnya. Walau ada istilah yang mengatakan bahwa pengarang telah ‘mati’ ketika novelnya dibukukan, namun bukankah pembaca berhak mengetahui siapa penulis buku yang sedang dibacanya. Bagi saya biografi singkat penulis adalah salah satu pintu masuk untuk dapat lebih menikmati sebuah karya sastra.
Akhir kata, apa yang ditulis Qaris dalam novel perdananya yang dikerjakannya selama 5 tahun ini tentunya dapat memperkaya khazanah dunia fiksi Indonesia yang kini semakin ragam dalam cara penuturan dan tema. Dalam Mahasati Qaris tampaknya ingin menegaskan bahwa cinta tak pernah mati. Walau dicoba dipendam dengan berbagai cara cinta akan selalu ada dan dapat tumbuh dalam situasi yang esktrim sekalipun. Lucia Wong tak akan menduga kalau nilai-nilai cinta yang selama ini dianggap sebagai penghalang kariernya justru tersadarkan akan arti dan makna kekuatan cinta ketika ia berambisi untuk menaklukkan kebisuan Andi kepada iterogator lainnya. Sedangkan Andi sendiri yang mencoba melarikan diri dari cinta tak pernah menduga jika pelariannya ke daerah sarat konflik justru menumbuhkan kembali cinta yang ingin dikuburnya.
Jika demikian siapa yang dapat menyangkal kekuatan Cinta ?
Jika manusia mengganti hatinya dengan sebongkah batu, barulah cinta akan mati dan tak mungkin tumbuh lagi.
@h_tanzil
No comments:
Post a Comment