Judul : Perburuan
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra
Cetakan : IV, Januari 2002
Tebal : vii + 163 hlm ; 20 cm
ISBN : 979-8659-00-7
Novel ini menceritakan tentang Hardo, seorang bangsawan, anak seorang Wedana yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air). Jelang beberapa hari sebelum kemerdekaan Ia bersama beberapa temannya melakukan pemberontakan. Sayangnya usahanya tersebut gagal karena pengkhianatan temannya sendiri sehingga Hardo menjadi desertir. Diburu oleh tentara Jepang.
Selama 6 bulan dalam pelariannya Hardo menyamar menjadi seorang gelandangan, ia hanya menggenakan cawat sebagai penutup auratnya, tubuhnya yang semakin kurus dan kotor , rambutnya memanjang hingga bahu, kotor membuat dirinya tidak dikenal Sayangnya Hardo memiliki tanda yang tidak dapat disembunyikannya yaitu garis cacat memanjang di lengan kanannya.
Selama 6 bulan dalam pelariannya Hardo menyamar menjadi seorang gelandangan, ia hanya menggenakan cawat sebagai penutup auratnya, tubuhnya yang semakin kurus dan kotor , rambutnya memanjang hingga bahu, kotor membuat dirinya tidak dikenal Sayangnya Hardo memiliki tanda yang tidak dapat disembunyikannya yaitu garis cacat memanjang di lengan kanannya.
Selama menjadi desertir Hardo menderita baik secara fisik maupun psikis, selain karena takut tertangkap dan dipenggal oleh Kempetai ia juga tak habis pikir mengapa Karmin, temannya menghianati dirinya sehingga pemberontakannya gagal. Selain itu Hardo juga harus menanggung rindu dan kehilangan Ningsih, tunangannya yang keberadaannya
tidak ia ketahui.
Tak hanya dirinya, keluarganyapun harus menanggung akibat dari pemberontakannya. Terguncang karena anaknya terus diburu tentara Jepang, Ibunya sakit hingga meninggal, ayahnya yang tadinya seorang wedana kehilangan jabatannya dan menjadi seorang penjudi. Namun semua derita yang dialami Hardo dan keluarganya tidak membuatnya menyerah, ia tetap optimis akan masa depannya.Yakin bahwa Jepang akan kalah sehingga ia tidak lagi diburu-buru.
Ketika lurah Kaliwangan yang juga calon mertuanya berhasil menemuinya dan dibujuk agar dirinya pulang, Hardo menolaknya karena ia telah bertekad tidak akan kembali sampai Jepang kalah. Sebuah pernyataan yang sepertinya mustahil terjadi karena saat itu kekuasaan Jepang begitu kuat mencengkram Indonesia.
Setelah bertemu calon mertuanya Hardo juga secara tidak sengaja bertemu dengan ayahnya, seorang wedana yang akhirnya menjadi penjudi di sebuah pondok di kebun jagung. Awalnya ayahnya tidak menyadari bahwa orang yang ditemuinya dan diajaknya mengobrol semalaman itu adalah anaknya sendiri, namun lambat laun ayahnya sadar bahwa pengemis itu adalah anaknya sendiri apalagi ketika ia melihat tanda cacat di lengan pengemis tersebut. Namun hingga akhirnya Hardo harus kabur karena tentara Jepang mendatangi pondok tersebut, Hardo tetap tidak mengaku pada ayahnya bahwa ia adalah anaknya.
Tentara Jepang terus memburu Hardo. Dibantu oleh Karmin, teman Hardo yang berkhinat dengan membocorkan rencana pemberontakan pada Jepang mereka malukan berbagai cara untuk menangkap Hardo hingga akhinya menangkap calon mertuanya dan Ningsih, tunangan Hardo sebagai sandera
Novel ini mencapai klimaksnya saat kemerdekaan diproklamasikan dan gaungnya sampai ketempat dimana sebuah pertemuan yang tidak diinginkan terjadi antara Hardo, Ningsih, lurah Kaliwangan, Karmin beserta tentara Jepang yang memburunya.
Melalui novel yang sarat dengan dialog-dialog panjang ini Pram mengungkapkan hubungan antara Hardo dengan orang tuanya dan juga calon mertuanya yang rumit, kebenciannya terhadap Jepang, dan harapannya agar bisa kembali dari pelariannya saat Jepang kalah. Tokoh-tokoh yang dibangun Pram dalam novel ini tampak begitu manusiawi, masing-masing memiliki motivasi personal dibalik tindakannya ,misalnya Hardo yang tidak lari jauh-jauh karena sebenarnya ia ingin menemui Ningsih dan Karmin yang berkhianat karena gagal menikah. Jadi novel ini tidak semata-mata soal heroisme kemerdekaan dari penjajah namun juga soal motivasi personal tokoh-tokohnya.
Selain itu novel ini juga mengungkapkan bagaimana masyarakat yang terjajah akan melahirkan dua sikap yang berbeda. Yang kuat akan memiliki semangat, pantang menyerah, kesetiaan, dan harapan untuk menang melawan penjajah. Yang tidak kuat akan menjadi egois, mencari selamat sendiri, menjadi serakah dan akhirnya melahirkan pengkhianatan keji. tidak hanya berhianat kepada bangsanya sendiri melainkan terhadap kawan, bahkan terhadap darah daging sendiri.
Seperti halnya mahakarya Pramoedya (Pram) Tetralogi Bumi Manusia yang
ditulis Pram didalam tahanan, novel Perburuan juga ditulis ketika Pram ditahan di Penjara Bukit Duri Jakarta di tahun 1949
karena menyebarkan poster perlawanan terhadap Belanda. Dalam satu
minggu Pram menyelesaikan novel ini. Naskahnya berhasil diselundupkan
keluar, memenangkan juara pertama sayembara penulisan Balai Pustaka di tahun 1949, setahun kemudian (1950) Balai Pustaka menerbitkan novel Perburuan.
Novel Perburuan hingga saat ini telah 8 kali dicetak ulang, terakhir pada oleh Hasta Mitra di tahun 2002. Novel ini juga diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam 29 edisi diberbagai negara (Amerika, Inggris, Belanda, Jerman, Italia, China,dll).
Kisah Perburuan ini lama terlupakan, hingga akhirnya di tahun 2019 ini novel ini dibuat filmnya oleh Falcon Picture dengan disutradarai oleh Richard Oh Semoga dengan dirilisnya film Perburuan maka karya-karya Pram akan dikenal oleh generasi milenial sehingga nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang kerap muncul di karya-karya Pram akan kembali tersampaikan dimasa kini.
@htanzil
No comments:
Post a Comment