Wednesday, October 28, 2020

Museum Kenangan

[No. 393]
Judul : Museum Kenangan - Buku, Cinta dan Karnaval Kesedihan
Penulis : Andrenaline Katarsis
Penerbit : Katarsis Book
Cetakan : I, Juni 2020
Tebal : vi + 244 hlm, 12 x 18 cm

...sekarang aku ingin menulis untuk orang lain. Aku ingin tulisanku dibaca orang lain, atau meminjam kalimat Multatuli, "Aku ingin dibaca". Entah bagaimana bentuk tulisanku nanti, aku juga belum tahu benar. Pokoknya aku ingin menulis. Sebab yang yang sedang berisik dan menari-nari di dalam benakku sekarang adalah aku ingin menulis. Hanya itu saja. Lain tidak.  (hlm 168)

Bagi seorang pegiat literasi yang setiap hari bergelut dengan aksara,  menulis dan menghasilkan sebuah karya berupa buku yang dibaca oleh banyak orang adalah salah satu pencapaian hidup yang diidamkan. Demikian juga dengan Andrenaline Katarsis, penulis, penerbit buku, traveler, dan pegiat literasi, keinginannya untuk menulis buku seakan tak pernah pupus selama ia masih bisa membaca dan menulis. 

Setelah dua karyanya terbit, Jelajah Kampung (2016) dan Selepas Bapakku Pergi (2018) kini ia menerbitkan  sebuah  novel memoar berjudul Museum Kenangan : Buku, Cinta dan Karnaval Kesedihan. Seperti judulnya penulis mengisahkan kehidupan dan pengalaman pribadinya yang berhubungan dengan pustaka, cinta, dan kegalauan hidupnya.

Penulis memulai kisahnya saat ia berada dalam kereta api  menuju Bali dalam rangka Kuliah Kerja Lapangan. Selama berada di kereta api ia memperhatikan seorang mahasiswa yang asik membaca buku sepanjang perjalanan. Hal ini membuatnya penasaran, sementara dirinya dan mahasiswa lain  asik mengobrol atau memelamun sambil merokok ada seorang mahasiswa yang mengisi sepanjang perjalanannya  dengan membaca buku. 

Singkat cerita tokoh 'aku' akhirnya berkenalan dengan Ricky Manik,  mahasiswa kutubuku yang ditemuinya di kereta. Ricky Manik yang ternyata seorang aktivis mahasiswa ini mengajaknya bergabung dengan organisasi mahasiswa bernama GEBRAK, akronim dari Gerakan Bersama Rakyat yang berhaluan kiri. Dari sinilah kisah kehidupan sang tokoh mengalir. Perkenalannya dengan Ricky Manik mengubah hidupnya, memperkenalkannya pada dunia pustaka dan mengajarinya bagaimana mencintai buku. Dari yang tadinya tidak suka membaca kini menjadi penggila buku. Apalagi ketika ia akhirnya bergabung dalam GEBRAK yang mengharuskannya membaca banyak buku agar bisa terlibat aktif dalam diskusi-diskusi kritis.

Saat itu aku seperti dibisiki, kalau ingin pandai bicara seperti para aitivis itu, maka aku harus banyak-banyak membaca.  (hlm 39)

Sejak itu sang tokoh memang jadi banyak membaca buku, banyak cara dilakukannya agar bisa membaca, selain membaca di perpustakaan, meminjam buku temannya, membeli buku-buku bekas hingga mencuri di perpustakaan kampusnya. Di buku ini dikisahkan bagaimana sang tokoh berhasil mencuri buku Madiog karya Tan Malaka. Setelah mencuri ia menjadi gusar karena takut masa depannya hancur karena ketahuan mencuri buku. Untuk  menghibur diri ia bandingkan dirinya dengan  Carrie Blumberg, pencuri buku terlihai di dunia yang berhasil mencuri puluhan ribu buku dari 268 perpustakaan di Amerika.

Kalaupun aku berdosa karena menguntil Tan Malaka, dosaku tentulah tidak akan seberat Stephen Carrie Blumberg yang sukses mencuri puluhan ribu buku. Aku cuman mencuri sebiji buku saja, kok repot amat!".  Dan sesudahnya akupun mulai mengamini tesisku sendiri : penggila buku mana sih yang belum pernah mengambil buku di perpustakaan? 

Dan asal tahu saja, buku buku yang dicurinya (Carrie Blumberg) itu bukanlah buku-buku murahan, melainkan buku-buku kuno yang jika dinilai dengan uang bisa mencapai puluhan juta dolar. Lha aku yang hanya mengutil sebiji buku saja sudah luar biasa gusarnya, 
(hlm 30-31)

Tidak hanya menjadi suka membaca, kini hidupnya menjadi begitu lekat dengan buku, dua kali berpindah tempat mondok, buku-buku seolah ingin selalu bersamanya. Ketika mondok di sekretariat GEBRAK ia tidur di kamar belakang  yang juga menjadi perpustakaan organisasi. Setelah organisasi itu bubar ia dipercaya untuk mondok dan mengelola Perpustakaan Tanah Air  milik temannya. 

Berbagai hal yang dialami sang tokoh  terungkap dengan menarik dalam novel ini baik  saat ia aktif di organisasi mahasiswa beraliran kiri yang membuatnya menjadi seorang demonstran di tahun 98, kekecewaannya terhadap organisi, romansa kisah cintanya, dan bagaimana akhirnya  dirinya berniat untuk menuliskan tentang penggalan kehidupannya.

Berdasarkan pengalaman tokoh dalam novel ini kita akan bisa melihat bagaimana buku yang dibaca dapat  mengubah cara pandang dan berpikir. Mungkin inilah yang menjadi dasar mengapa pemerintah yang otoriter sampai melarang atau memberangus buku-buku  yang dianggap berbahaya.  

YANG KURASAKAN pengaruh paling membekas dari hasil membaca buku-buku Marxis itu, entah kenapa aku menjadi sensitif memandang kemiskinan dan selalu menaruk syak wasangka buruk pada segala bentuk kekayaan. Exploitasi gila-gilaan diatas karpet kemiskinan dengan kepemilikan uang yang hanya berputar-putar di segelintir orang saja. 

Aku tiba-tiba ikut marah ketika warung kopi di seberang kampusku digusur petugas ketertiban kota. Aku yang yang panas jika ada kesewenang-wenangan. Aku tiba-tiba jadi sosok perasa. Sebab barangkali tujuan ujaran-ujaran yang dijewantahkan dalam wacana kiri, yakni menumbuhkan kesadaran bahwa disekitarku ternyata masih ada sekelompok kelas sosial yang hidupnya tidak beruntung. (hlm 55-56)

Tidak hanya berpengaruh pada pemikiran  politik dan kemanusiaan, buku juga berpengaruh pada romansa kisah cintanya. Ketika sang tokoh membina hubungan dekat dengan seorang wanita, buku yang pernah ia bacapun  tetap terlintas menemani kegalauannya.

Nina, perempuan berwajah bulan sabit, dengan dagu agak lonjong dan bermata sendu itu mengingatkan aku pada Anne Frank....

Entah jenis perasaan apa yang kurasakan padanya. Dibilang teman tapi mesra. Dibilang pacar tak secuilpun ada ungkapan yang terlontar dari mulutku bahwa aku dan dirinya pernah saling mengikat diri. Barangkali, meminjam istilah sosiolog Clifford Geertz, aku sedang di dalam sebuah permainan yang mendalam. 

Aduhai, segala macam diskursus tentang cinta yang pernah ditawarkan Fromm, Rumi, atau Gibran atau filsuf cinta lainnya sudah tak bisa lagi kuterima dan kubedakan. Di hadapan Nina, segala khotbah dan petuah cinta itu ambruk seketika. .....Sebab perjumpaan dengannya adalah serupa rahmat dan berkah dari Tuhan yang membahagiakan hati, persis seperti   Sajak-sajak Cinta Gandrung karya Mustofa Bisri
(hlm 129-130)

Banyak hal-hal menarik yang akan kita temui dalam novel yang bernuansa muram ini.  Sesuai sub judulnya, Buku, Cinta, dan Karnaval Kesedihan, ungkapan kegalauan dan kesedihan dari tokohnya mendominasi novel ini. Hampir tidak ada keceriaan yang muncul. Walau  terkesan muram namun bukan berarti kita akan lelah dan tertekan.

Parade judul buku-buku bermutu beserta kutipan-kutipan yang inspiratif, nama penulis-penulis terkenal beserta penggalan kehidupannya, nukilan buku, hingga resensi buku berkelindan diantara kisah-kisahnya sehingga karnaval kesedihan dalam buku ini diimbangi dengan parade buku-buku yang pernah dibaca oleh sang tokoh dalam novel ini. 

Bagi pembaca yang tidak terlalu suka membaca atau bukan pecinta buku mungkin bagian kutipan-kutipan buku, nama-nama penulis lokal dan dunia akan menjadi sesuatu yang membosankan namun bagi pembaca yang mencintai buku sekaligus pelahap berbagai genre buku, novel ini dipastikan akan memuaskan mereka karena akan disegarkan kembali ingatannya tentang sejarah bacaannya dari berbagai buku-buku sastra, filsafat, politik, dan sebagainya.

Itulah keuntungan yang diperoleh bagi pembaca buku ini. Tidak hanya bagi pembacanya, penulis buku inipun mendapat manfaat. Seperti pesan  yang ditorehkan  penulis pada buku yang diberikan pada saya,


 "Sebaik-baiknya tempat menyimpan kenangan hanya di dalam buku".  

Seperti judul novel ini, Museum Kenangan,  karyanya  ini adalah sebuah tempat menyimpan kenangannya terhadap buku, romansa cinta, dan kesedihan yang dialaminya. Selain itu seperti yang pernah dikatkan oleh Pramoedya Ananta Toer, apapun pengalaman atau pemikiran yang dituangkan dalam tulisan pasti akan berguna;

"Semuanya harus dituliskan. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat akan berguna," begitu kata Pram. (hlm 71)

Ya, apa yang sudah ditulis di novel ini  pasti akan akan berguna, berguna untuk penulis dan berguna untuk pembacanya. Sebagai penutup dari kesan pembacaan saya akan novel ini saya akan kutipkan apa yang menjadi keinginan penulis buku ini seperti yang diungkapkan dalam novel memoarnya ini.

 ....aku ingin tulisanku bisa juga dibaca orang lain dan senang ketika membaca tulisanku.            Syukur-syukur setelah membaca tulisanku jadi bisa terinspirasi karenanya.  (hlm 168)

@htanzil

1 comment:

Tika Insani said...

Wah, ini bukunya unik banget. Belom pernah liat buku setipe gini deh. Jadi pengen baca juga, tapi emang agak ragu2 juga sih cocok ga ya baca ini...