Thursday, November 12, 2020

Jejak-Jejak Bandung

[No.394]
Judul : Jejak-Jejak Bandung
Penulis : Atep Kurnia
Penyunting : Deni Rachman
Penerbit : ProPublic.Info & Oleh-oleh Boekoe
Cetakan : I, 25 September 2020
Tebal : xii + 196 hlm ; 13x19 cm
ISBN : 978-623-93907-2-3


 Kota Bandung pun mungkin seperti Istanbul, telah menjadi teks. Ia barangkali seperti novel, cerita pendek, atau puisi. Sebagaimana sebuah teks. Kota Bandung bisa dibentuk dan dibuat oleh siapa saja. (hlm 64)

Bandung memang kota yang sejak dulu selalu menginspirasi bagi para penulis untuk diubah menjadi teks, sebut saja   Haryoto Kunto, Sjarif Amin, R. Moch Affandie, Us Tiarsa, Her Suganda, Sudarsono Katam, Ryzki Wiryawan, dan lain-lain. Seperti para pendahulunya Atep Kurnia, penulis yang menetap dan menjejakkan karier kepenulisannya di Kota Bandung juga terinspirasi untuk menulis hal ihwal tentang Bandung.

Dengan energi menulisnya yang luar biasa Atep menulis artikel-artikel tentang Bandung di masa lalu dan mengirimkannya ke media-media cetak dan internet. Dalam tulisan-tulisannya ia mencoba menjelajahi sisi-sisi menarik mengenai Bandung di jaman kolonial yang mungkin belum pernah disentuh penulis lain atau  menambah hal-hal baru dari yang sudah ditulis oleh pendahulu-pendahulunya. Bersyukur kini tulisan-tulisan Atep tentang Bandung yang tadinya tersebar di berbagai media akhirnya dapat dibaca dalam satu buku yang diberi judul Jejak-Jejak Bandung.

Walau buku tentang Bandung telah banyak ditulis namun buku ini tetap istimewa karena Atep mendasari tulisan-tulisannya  dari sumber-sumber primer yaitu koran-koran yang terbit di masa lampau, dokumen-dokumen sejarah, buku-buku kuno, dan sebagainya sehingga semua kisah tentang Bandung yang ada di buku bukan berdasarkan legenda atau hanya cerita dari mulut kemulut melainkan sebuah fakta  yang  dapat ditelusuri dari buku ke buku hingga ke dokumen aslinya. 

Ketika Atep menulis asal muasal Bandung mendapat julukan Parijs van Java, ia menemukan fakta yang menarik. Kalau sebelumnya banyak orang beranggapan  julukan ini mulai muncul di masa keemasan Bandung tempo dulu di tahun 1920-1930an, ternyata berdasarkan  koran-koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda ia menemukan bahwa  koran paling lama yang menjuluki Bandung sebagai Parijs van Java adalah Alkmaarsche Courant edisi 20 Maret 1904. Ini membuktikan bahwa julukan tersebut sudah ada sejak awal abad ke-20.

Terinspirasi dar pengalaman masa kecilnya yang tak terlupakan ketika mengunjungi  kebun binatang Bandung  lahirlah tulisan berjudul Derenten (Kebun Binatang) Bandung tahun 1930-an yang ditulis berdasarkan koran-koran dan majalah di masa kolonial diantaranya majalah Moii Bandoeng yang terbit di tahun 1930an.  Tulisan ini menjadi salah satu yang  spesial karena  belum pernah ada buku atau tulisan tentang Kebun Binatang Bandung di tahun 1930-an dengan sangat rinci.

Dengan detail penulis menyuguhkan data-data tentang sejarah pendiriannya dan apa saja koleksi binatang yang dimiliki Kebun Binatang Bandung saat itu. Kehadiran Deranten di masa itu sangat menarik perhatian orang Bandung dan sekitarnya. Dari data kunjungan di tahun 1933 tercatat ada 21.000 pengunjung pribumi dan Eropa yang sama banyaknya. Yang menarik, orang-orang saat itu sangat antusias menyerahkan binatang hasil buruannya ke kebun binatang Bandung hingga pengelola kebun binatang saat itu kewalahan dan membuat ketentuan untuk membatasi kiriman binatang dari masyarakat. 

Buku memoar, buku pengantar pekan raya, dan skripsi mahasiswa juga tidak luput dari penelusuran Atep dan dijadikan salah satu sumber untuk menulis tentang pekan raya tahunan Jaarbeurs di Bandung.  Dalam penelusurannya Atep menemukan bahwa ada  buku pengantar Jaarbeurs yang ditulis dalam bahasa Sunda. Hal ini dapat disimpulkan bahwa di tahun 1920an pemerintah kolonial Belanda telah menyadari pentingnya menyampaikan kabar pelaksanaan Jaarbeurs ke komunitas atau orang-orang pribumi yang tempatnya dijadikan pelakanaan pekan raya. Selain itu hal ini juga membuktikan bahwa dimasa itu sudah ada komunitas baca atau literasi Sunda, atau kalau boleh saya tambahkan sudah ada cukup banyak orang-orang Sunda yang melek aksara. 

Sedangkan dari skripsi Yudi Hamzah (2007) yang diselesaikan bagi jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Pajajaran diperoleh hasil wawancara dari dua tokoh terkenal yaitu pelukis Barli Sasmitawijaya dan Brigjen Pol (Purn) Yuhanda mengenai kesan-kesan   mereka mengujungi Pekan Raya Jaarbeurs  saat mereka masih muda.

Sumber primer lain yang digunakan Atep adalah naskah ketikan dan tulisan tangan Raden Ibrahim Prawira-Winata. Naskah tersebut menjadi salah satu sumber bagi Atep untuk menulis artikel bertuliskan Toko Buku MI. Prawira-Winata. Toko buku dan penerbit partikelir kecil di Bandung milik orang Sunda yang pernah mengikuti pameran internasional di tahun 1920-an. Lewat naskah itu  selain membahas tentang toko buku dan penerbitannya dibahas juga tentang riwayat hidup RI. Prawira-Winata yang belum pernah diungkapkan dibuku manapun. 

Tidak hanya sumber tertulis, sumber berupa film juga digunakan Atep untuk menulis tentang suasana Bandung di awal abad ke 20. Di tulisan yang berjudul Bandung dalam Film Bisu Atep mendasari tulisannya berdasarkan film Autotoch door Bandoeng (1913) dan Mooi Bandoeng (1927) produksi Kolonial Intstituut, Belanda. Di tulisan ini selain mendapat informasi lengkap tentang siapa yang membuatnya dan apa tujuan dari dibuatnya film tersebut Atep juga memberikan rincian adegan per adegan dari kedua film tersebut sehingga bisa membantu pembaca untuk lebih menikmati film bisu tersebut yang kini dapat disaksikan di YouTube Eye Filmmuseum

Bagi Atep selain film, plat piringan hitam juga bisa dijadikan sumber tulisan. Dari piringan hitam berwarna merah yang ditengahnya terdapat tulisan "Konperensi A.A. (n.n)" lahirlah tulisan berjudul Konperensi Asia-Afrika Dalam Rumpaka Sunda. Dari rumpaka (teks lagu/lirik) Atep menyimpulkan bahwa itu membuktikan keterlibatan seniman Sunda dalam ikut menyebarkan informasi mengenai pentingnya perhetalan KAA kepada publik berbahasa Sunda. 

Masih banyak hal-hal menarik dan fakta-fakta sejarah yang jarang  bahkan mungkin belum pernah diungkap tentang jejak-jejak Bandung dalam buku ini. Ketekunan Atep untuk mencari sumber-sumber primer sebagai dasar untuk setiap tulisannya patut diberi apresiasi setinggi-tingginya  karena hal itu bukanlah hal yang mudah. Walaupun internet membuat segala sesuatu lebih mudah namun mencari sumber primer di belantara cyber tetaplah membutuhkan ketekunan dan keahlian tersendiri.

Sumber-sumber primer yang digunakan sebagai dasar semua tulisan dalam buku ini membuat buku ini menjadi buku yang memiliki otoritas untuk dijadikan acuan bagi siapa saja yang ingin mengenal dan menapaki jejak-jejak Bandung di masa kolonial dari berbagai sisi.  Ada 4  jejak Bandung yang disajikan Atep dalam bukunya ini. yaitu : Jejak Bandung dan Rekreasi, Jejak Bandung dan Penerbitan, Jejak Bandung dan Peristiwa Bersejarah, dan Jejak Bandung dan para Tokoh.

  

Ada banyak jejak-jejak Bandung lain yang belum tersentuh oleh Atep, namun melihat produktifnya Atep dalam menulis saya  sangat yakin masih banyak hal ikhwal tentang Bandung di masa lampau yang akan ditulisnya sehingga bukan tidak mungkin buku ini menjadi buku berseri. Jejak-Jejak Bandung 1, 2, 3..dan seterusnya. 

Apresiasi yang tinggi juga patut diberikan kepada penyunting buku ini. Seluruh tulisan dalam buku ini pernah dimuat di media cetak dan onlen, saya yang kebetulan sering membaca tulisan-tulisan Atep di berbagai media  merasa semua tulisan  di buku ini lebih enak dibaca dibanding apa yang pernah tersaji di koran, majalah, dan versi onlennya. 

@htanzil