Saturday, December 13, 2008

Kearifan Pelacur

Judul : Kearifan Pelacur
(Kisah gelap di balik Bisnis Seks dan Narkoba)
Penulis : Elizabeth Pisani
Penerjemah : Bhimantoro Suwastoyo
Penyunting : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 589

“Buku ini adalah sebuah buku mengenai hidup dan mati, seks dan narkoba; mengenai harapan dan kekecewaan. Buku ini mencoba menggambarkan kehidupan dalam dunia HIV?AIDS internasional yang berputar di sekiling hotel-hotel dan pusat-pusat konvensi yang mewah, maupun di jalanan kumut kota Jakarta. “ (hal 7)

Demikian yang diungkap oleh Elizabeth Pisani, ahli epidemilogi asal Inggris yang sempat lama tinggal dan bekerja di Jakarta dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya selama bekerja di salah satu badan PBB yang menangani masalah AIDS hingga terjun langsung ke pusat-pusat epidemi HIV di berbagai negara belahan dunia dan persinggungannya dengan korban HIV, para pekerja seks, dan pemakai narkoba , maka di awal tahun 2008 lahirlah sebuah buku yang diberinya judul “Wisdom of Whores : Bureucrats, Brothles, Bussines of AIDS” (Granta, London, 2008). Pada Juni 2008 buku ini diterbitkan di Amerika Serikat dan Kanada, dan 3 bulan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Serambi dengan judul “Kearifan Pelacur, kisah gelap di balik bisnis seks dan narkoba” .

Buku ini adalah sebuah buku non fiksi, namun kita tidak akan disuguhkan dengan uraian-uraian teoritis dengan seabrek data-data kering dengan bahasa yang sulit dimengerti . Buku ini bisa dikatakam merupakan campuran antara memoar dan berbagai analisis kebijakan penanganan HIV baik di berbagai negara di dunia. Selain itu pembaca juga diajak menyelami pergolakan batin penulisnya. Itulah yang menjadikan buku ini tak hanya kaya akan data dan informasi, tetapi juga realistis dan sangat membumi, bahkan beberapa hal sangat praktis untuk dapat diterapkan. Pengalaman Elizabeth yang pernah bekerja sebagai jurnalis Reuters sangat berpengaruh dalam menyajikan tulisan yang enak dibaca dan sangat informatif ini.

Walau buku ini bukan buku tentang AIDS di Indonesia, namun karena Elizabeth banyak berkiprah di Indonesia, maka banyak dari apa yang diceritakannya dalam buku ini terjadi di Indonesia. Khusus mengenai Indonesia, berdasarkan analisanya, Elizabeth mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dunia perdagangan seks yang besar dengan tingkat penggunaan kondom yang sangat rendah dan tingkat penularan penyakit seksual yang amat tinggi. Ini merupakan resep paling mujarab bagi penyebaran HIV/AIDS.
Pada tahun 1992, seorang peneliti Amerika Serikat bernama Mike Linnan menerbitkan sebuah laporan berjudul , “AIDS di Indonesia : Badai yang Akan Datang”, yang menyebutkan bahwa gelombang penularan penyakit ini akan segera menyapu Indonesia.

Laporan ini membuat Bank Dunia pada tahun 1996 memberikan hampir 25 juta dolar kepada pemerintah Indonesia untuk menangani masalah ini. Sayang proyek ini mengalami ‘kesalahan pengelolaan’ hingga akhirnya tak memberikan pengaruh berarti pada penanganan virus AIDS di Indonesia. Untunglah dana-dana bantuan baik dari Amerika Serikat maupun Australia terus mengalir sehingga berbagai usaha pencegahan penyebar virus mematikan ini masih dapat terus berlangsung.

Mengenai dana-dana besar berjumlah puluhan milyar dolar yang digelontorkan berbagai negara termasuk Bank Dunia ini, Elizabeth mengandaikannya bagaikan semut dalam semangkuk gula, dimana dana yang besar ini menjadi rebutan baik pemerintah maupun LSM-LSM yang saling sikut untuk memperoleh bagiannya.

Dalam buku ini Elizabeth mengungkapkan bahwa ada beberapa golongan yang dianggap sebagai kendaraan penyebaran virus HIV, yaitu : para PSK, waria, kaum homoseksual, dan pemakai jarum suntik. Karena di Indonesia tingkat penggunaan kondom yang rendah, maka waria dan kaum homoseksual sangatlah beresiko tinggi dalam penyebaran virus HIV di Indonesia. Ironisnya mereka tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahaya HIV/AIDS sehingga resiko tertular yang dihadapinya semakin besar.

Di Indonesia sendiri tingkat penyebaran virus HIV kini sudah dalam taraf mengkhawatirkan, beberapa daerah telah dinyatakan sebagai epidemi. Banyak versi berapa jumlah data penderita HIV di Indonesia, yang tertinggi hingga bulan Semptember 2008 penderitanya telah mencapai 270 ribu orang. Jika hal ini tidak ditangani dengan serius maka badai AIDS akan menyapu Indonesia. Karenanya kini kampanye anti HIV yang khususnya dilakukan oleh LSM-LSM semakin gencar antara lain kampanye safe sex dengan mempopulerkan penggunaan kondom dan penggunaan jarum suntik baru. Sayangnya kampanye ini banyak ditentang oleh masyarakat, dinilai tidak etis karena seolah melegalkan dan mendorong seseorang untuk melakukan seks bebas dan narkoba.

Dibanding kampanye penggunaan kondom, sebagian masyarakat dan pemerintah tampaknya memilih cara lain dalam mengerem laju virus HIV pada pemakai narkoba dan industri seks. Salah satunya dengan menutup kompleks lokalisasi pelacuran. Cara ini dikritik oleh Elizabeth, usaha pemerintah yang serta merta menutup kompleks lokalisasi, kemudian mendirikan tempat ibadat di bekas kompleks tersebut tidaklah efektif dalam penanganan penyebaran virus HIV/AIDS.

Beberapa wanita pekerja seks yang sumber kehidupannya dirampas, memilih pulang kampung dengan membawa penyakit mereka. Beberapa yang lain kembali beroperasi di jalanan tanpa pemeriksaan berkala dari dinas kesehatan seperti saat mereka bekerja di lokalisasi. Akibatnya penyakit yang dibawanya menyebar tak terkendali dan jika ada diantara mereka yang mengidap HIV maka penyebaran virus tersebut menjadi semakin liar.

Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia ini berbeda dengan yang dilakukan oleh pemerintah Thailand yang tekenal dengan industri seksnya dan pernah memiliki tingkat penyebaran HIV yang tinggi di Asia. Pemerintah setempat tak menutup pusat-pusat lokalisasi, melainkan dengan melakukan kontrol yang ketat terhadap kesehatan para pekerja seksnya, selain itu pemerintah Thailand juga mengharuskan semua aktivitas seks di lokalisasi tersebut menggunakan kondom. Jika ketahuan tidak menggunakan kondom atau diketahui bahwa virus HIV/AIDS berasal dari kompleks tersebut, barulah izin usaha mereka dicabut.

Mana yang efektif dalam menangkal penyebaran virus HIV?. Yang pasti data menunjukkan bahwa kebijakan tersebut berhasil mengerem laju epidemi HIV di industi seks komersial Thailand dibanding Indonesia. Hal ini mengajarkan pada kita bahwa lebih mudah meningkatkan penggunaan kondom daripada mengukung industri seks dalam menekan penyebaran HIV.

Dalam hal penyebaran HIV melalui jarum suntik. Penulis dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan jarum suntik secara bergantian adalah salah satu cara yang paling efektif bagi virus HIV untuk terjun bebas berpindah dari tubuh seseorang ke seseorang lainnya. Peperangan melawan Narkoba dengan memenjarakan para pemakai barkoba tidaklah efektif . Penjara merupakan tempat yang bagus untuk belajar menjadi penyuntik. Dengan tegas penulis menyatakan bahwa di Indonesia penjara tak ubahnya pabrik HIV. Hasil risetnya membuktikan bahwa lonjakan penularan HIV ternyata bukan ditemukan dalam industri seks, melainkan di antara para tahanan. Bahkan satu diantara enam orang yang ditahan di penjara yang berada persis di seberang jalan kantor program AIDS Depkes RI telah tertular HIV! Jadi jika sebelumnya para tahanan itu masuk dalam keadaan sehat, sekeluar dari penjara mereka sudah tertular HIV.

Selain kampanye penggunaan jarum suntik steril yang disinggung dalam buku ini, Elizabeth juga mengulas cara terbaru yang terbukti efektif untuk pencegahan HIV di antara para pecandu heroin suntik yaitu dengan terapi Methadon. Methadon adalah sebuah obat sintesis yang meniru efek dari obat-obatan sejenis heroin. Obat yang berbentuk sirup ini secara bertahap dapat menghilangkan ketergantungan pada heroin tanpa harus mengalami sakau. Dan yang menggembirakan obat ini sangat murah, satu dosisnya seharga beberapa ribu rupiah saja dan kini sudah mulai diperoleh di klinik-klinik.

Dalam buku ini juga akan terungkap bahwa usaha untuk melawan virus mematikan ini terdapat dua kubu yang berperang dengan caranya masing-masing. Yang satu berperang dengan cara membagikan kondom dan jarum suntik baru. Di lain pihak ada yang berperang dengan menganjurkan berpantang seks. Keduanya kadang saling menyalahkan, pihak yang menganjurkan berpantang seks berpendapat bahwa membagikan kondom dan jarum suntik adalah tindakan amoral karena seolah menganjurkan seks bebas dan narkoba. Sementara pihak lain mengklaim bahwa metode berpantang seks hanya efektif bagi orang yang dengan teguh mengikuti pantangan ini dan metode ini memiliki tingkat kegagalan yang tertinggi. Melihat hal ini Elizabeth di akhir paragraf buku ini menganjurkan agar para dua kubu yang berperang dalam caranya masing-masing hendaknya mau meninggalkan egonya masing-masing dan bersatu padu dalam satu barisan untuk melawan penyakit ini agar dapat membuat bumi kita ini menjadi lebih baik lagi.

Masih banyak fakta-fakta yang menarik dan bermanfaat dalam buku ini baik mengenai penyebaran HIV, penanggulangannya, bagaimana cara kerja virus ini dalam tubuh seseorang, berbagai metode pengobatan, intrik-intrik dalam industri AIDS, dan sebagainya. Karenanya buku ini dapat dijadikan semacam buku panduan tak resmi bagi para pengambil keputusan, praktisi sosial, atau bagi mereka yang ingin terjun dalam bidang HIV baik itu sebagai relawan maupun bagi mereka yang bekerja di lembaga resmi pemerintah. Bagi mereka yang awam yang tadinya hanya tahu sedikit mengenai AIDS, buku ini akan membuka cakrawala kita lebih dalam lagi mengenai apa dan bagaimana sebenarnya virus ini bisa menyebar dan bagaimana penanganannya yang efektif.

@h_tanzil

4 comments:

Anonymous said...

dua kubu yang memiliki cara berjuang yang berbeda. Kalo lebih arif , mungkin keduanya menemukan cara yang sempurna untuk memberantas penyakit ini.
kadang2 kita terlalu fokus pada packaging dibandingkan content.

htanzil said...

Yap! Sepakat!
semoga apa yang kini dilakukan para relawan membuahkan kebaikan.
Di Kick Andy kemarin menegaskan bahwa HIV di Indonesia sudah sampai taraf epidemi di daerah2 tertentu

IndonesiaHAI said...

kok saya membaca bukunya, memoir langsung meuju judul buku "berguru pada anjing". Hmm.. tampaknya ide-ide untuk menengok ke bawah dan belajar dari hal-hal yang dianggap kecil tak ada habis-habisnya.

enrichco

buku gratis said...

makin penasaran sama buku ini ... nyari link download ebook kisah pelacur dulu deh :)

salam sukses :D