Judul : Terorist
Penulis : John Updike
Penerjemah : Abdul Malik
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Des 2006
Tebal : 499 hal
Akhir-akhir ini situasi kemanan Indonesia kembali terganggu oleh teror Bom yang meresahkan maysarakat, dimulai dari teror bom buku beberapa bulan yang lalu ditujukan kepada sejumlah tokoh kenamaan di negeri ini, hingga akhirnya sebuah bom bunuh diri di Masjid Mapolres Bogor. Seperti pelaku bom bunuh diri di hotel JW. Mariot beberapa tahun yang lalu kali ini eksekutor bom bunuh diri di Cirebon pun dilakukan oleh seorang pemuda yang masih belia.
Mengapa para pemuda kita begitu mudah dipengaruhi untuk melakukan aksi biadab ini? Kira-kira apa yang mereka alami dan rasakan ketika menjadi eksekutor bom bunuh diri? John Updike (1923-2009) seorang book reviewer sekaligus novelis terkenal mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan diatas melalui novel terakhirnya 'Terorist" (2006)
Ahmad Ashamy Mulloy, seorang pemuda berusia delapan belas tahun adalah seorang remaja cerdas yang taat pada ajaran agamanya. Ia tinggal di New Prospect (New Jersey) yang materialistis dan hedonis bersama ibunya, Teresa Malloy yang berdarah Irlandia-Amerika. Ayahnya yang berkebangsaan Mesir, meningalkannya sejak Ahmad berusia tiga tahun. Ketika berusia sebelas tahun ia memeluk agama Islam dan semenjak itu pula dua kali dalam seminggu ia mempelajari Kitab Suci al-Quran dibawah bimbingan Syaikh Rasid, seorang imam masjid di West Main Stret – New Prospect.
Di sekolahnya, Ahmad dikenal sebagai murid yang pintar. Agamanya menjaganya dari obat-obatan terlarang dan tindakan asusila, meski hal ini membuatnya agak tersisih dari teman-teman kelasnya. Karena hidup selama bertahun-tahun tanpa ayah, dan hidup bersama ibunya seorang penganut Katolik yang tanpa iman, dan digembeleng dengan keras oleh guru agamanya, Ahmad tumbuh menjadi pengabdi setia pada Allah, menjadikanNYA sebagai teman sejati yang lebih dekat dari urat lehernya.
Pengaruh Syaikh Rasyid sedemikian besarnya dalam kehidupan Ahmad, tak seorangpun yang dapat mengalihkan perhatian Ahmad dari mengikuti ajaran agamanya yang disebut sebagai “Jalan yang Lurus”. Selain belajar membaca ayat-ayat suci Al-Quran, Ahmad juga diwajibkan untuk mengikuti petunjuk Allah secara total dalam kehidupannya, termasuk melakukan jihad dan mati syahid untuk melawan musuh-musuh Allah, antara lain bangsa Amerika yang dianggapnya sebagai bangsa yang kafir.
Setelah lulus dari SMA, Jack Levy, guru pembimbingnya menganjurkan agar Ahmad melanjutkan ke univeritas terkemuka. Namun Ahmad lebih mentaati anjuran Syaikh Rasyid agar ia menjadi supir truk. Ketika ia memperoleh pekerjaan sebagai supir truk di sebuah toko perabotan yang dimiliki oleh keluarga Libanon, ternyata sejumlah rencana telah diatur dengan rapih. Sejak awal Ahmad memang disiapkan oleh Syaikh Rasyid untuk menjalankan jihad dan melakukan misi bunuh diri dengan menjadikan dirinya pembawa truk berisi bom yang siap untuk diledakkan di terowongan di Lincoln – New Jersey. Akankah Ahmad bersedia menjalankan misi yang diyakininya sebagai misi suci untuk menghancurkan musuh-musuh Allah ?
Kisah diatas adalah karya teranyar dari John Updike, novelis senior yang produktif dan pemenang dua kali Putlitzer Prize (1981 & 1991). Novel ke duapuluh dua John Updike ini diberi judul Terorist (2006). Novel ini mendapat respon yang baik dari pembacanya. Baru saja beberapa minggu terbit, novel ini telah dicetak ulang sebanyak enam kali dengan jumlah 118.000 copy dan habis terjual dalam waktu yang singkat.
Apa yang menarik dari novel ini ? Novel ini memang tak seseram judulnya. Pembaca mungkin akan terkecoh melihat judulnya yang provokatif dan menyangka novel ini sarat dengan kekerasan dan baku tembak dengan plot yang cepat dan menegangkan.
Tidak!, kita tak akan menemukan adegan baku tembak atau berbagai peledakan yang menghiasi lembar-lembar novel ini. Novel ini memiliki alur yang cenderung lambat dan lebih mengutamakan eksplorasi karakter, kondisi psikologis beserta pemikiran para tokoh-tokohnya. Wikipedia mengkategorikan novel ini kedalam genre Philosophical, War.
Seperti dalam novel-novel lainnya Updike memang gemar mengkolase tema filsafat dengan tema aktual. Dalam Terorist, ia banyak
bermain-main dengan apa yang ada dalam pikiran dan dialog-dialog para tokohnya yang sarat dengan debat filosofis dan teologis akibat benturan antara keyakinan tokoh-tokoh radikal dengan tokoh-tokoh sekuler yang hidup secara hedonis materialistis yang bisa dikatakan merupakan gambaran umum masyarakat Amerika.
Dari novelnya ini John Updike tampak menguasai Islam. Menurut Amitav Ghosh dalam reviewnya yang dimuat dalam Washington Post, Updake tak hanya sekedar membaca Al-Quran, ia juga mempelajarinya secara intens. Tak heran jika Updike menyertakan banyak kutipan ayat-ayat Al-Quran beserta pemahamannya dalam novelnya ini.
Seperti diungkap diatas, karakter tokoh-tokoh di novel ini dideskripsikan secara detail, selain tokoh Ahmad, tokoh-tokoh lainnya seperti Jack Levy (guru pembimbing Ahmad) Beth Levy , Teresa Malloy , Charlie Chebab (atasan Ahmad), mendapat porsi yang banyak dikupas sehingga mengakibatnya alur novel ini terasa lambat. Sayangnya juga karakter Syaikh Rasid hanya sedikit dikupas dibanding tokoh-tokoh lain, padahal dialah tokoh yang paling berpengaruh dalam kehidupan Ahmad.
Di novel ini juga pembaca akan melihat bagaimana kondisi kerohanian masyarakat Amerika yang dilihat dari sudut pandang tokoh Ahmad yang mewakili para pejuang kebenaran yang rela mati syahid demi keyakinannya. Di mata Ahmad Amerika adalah bangsa yang tidak memiliki Tuhan, “Dan karena tidak ada Tuhan, semua digambarkan dengan seks dan benda-benda mewah, Lihatlah televisi, Mr. Levy, bagaimana seks selalu memanfaatkan Anda agar bisa menjual sesuatu yang tidak Anda butuhkan. …Perhatikan bagaimana umat Kristiani melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk asli Amerika dan mengesampingkan Asia dan Afrika, dan sekarang mulai merambah Islam, dengan segala sesuatu di Washington yang dikendalikan oleh orang Yahudi untuk mengekalkan pendudukan mereka atas Palestina.” (hal 57).
Karena mengambil setting kota kecil di Amerika, beberapa tahun setelah serangan 11 September, novel ini juga mengungkap bagaimana sebenarnya kebebasan yang diagungkan oleh masyarakat Amerika justru “membuat negara ini lebih mudah disusupi teroris, dengan menyewa pesawat terbang dan mobil gerbong, serta mengeset website.” (hal 40). Phobia masyarakat Amerika terhadap sesuatu yang berbau Islam termasuk masyarakat muslimnya juga terungkap lewat sebuah dialog antar tokohnya “Kami memang memutus sambungan telepon setelah peristiwa Sebelas-September, kami sering menerima telepon bernada ancaman dari golongan Anti-Muslim” (hal 122).
Di 70 halaman terakhir terdapat hal yang sangat menarik, Updike mendeskripsikan dengan detail bagaima akifitas yang dilakukan oleh Ahamd selaku pelaku bom bunuh diri lengkap dengan bagaimana gejolak batinnya pada saat ia mengemudikan truknya menuju titik sasaran dimana ia akan meledakkan truknya dan mati syahid untuk membela keyakinannya.
Apa manfaat yang bisa kita ambil dari novel ini ? Saat ini beberapa negara di dunia, khususnya Amerika memang selalu berada dibawah ancaman bayang-bayang sekelompok pihak yang sering disebut teroris. Bahkan indonesiapun sudah beberapa kali menjadi sasaran bom bunuh diri. Karenanya kehadiran novel ini setidaknya bisa memberikan gambaran apa sebenarnya yang mereka perjuangkan dan apa yang kira-kira ada di benak seorang pelaku bom bunuh diri sebelum ia melaksanakan tugasnya demi sebuah keyakinan yang dianutnya.
@htanzil
nb:
Review ini pernah ditayangkan pd thn 2006 yg lalu. Kali ini kembali saya tayangkan karena saya rasa novel ini menjadi relevan kembali untuk terkait semaraknya teror bom di seluruh penjuru Indonesia.
Review dan data novel ini sy buat berdasarkan terjemahannya yg diterbitkan oleh Alvabet pada thn 2006. Kalau tidak salah pd tahun 2009 terjemahan novel ini dicetak ulang oleh Penerbit Alvabet dengan cover yang berbeda. Sayang saya tidak berhasil memperoleh foto cover ed. terjemahan thn 2009.
8 comments:
bagus kayaknya buku itu ya
wah saya blum pernah baca.. kalo saya baru mulai baca witch from portobello nya coelho ..
sudah pernah bacakah?
witch frpm portebello nya coelho sudah punya tp blm sempat baca :)
Oh, jadi ini repost toh ceritanya? Terlalu berat ah buatku!
O ya, mau mengingatkan, waktu posting lupa judulnya gak ditulis ya? Kalo takut persis ama posting lama, sebaiknya tambahkan [Repost]... aja.
@Fanda : oh, iya, baru nyadar malah kl aku belum cantumkan judulnya. thx sdh diingatkan
Mmm...mau nanya di luar posting nih. Biasanya mas Tanzil bukannya pake foto koleksi bukunya sebagai background blog ya? Aku pernah liat bukunya Jhumpa Lahiri ada 2. Yg satu The Namesake. Satunya lagi judulnya apa? (gak jelas terlihat). Baguskah? Bagus mana dengan The Namesake? Aku lumayan suka yg The Namesake sih, meski kelihatannya datar tapi tetap menarik, pengen baca terus sampe akhirnya tamat.
Usul, sekali2 pamerin dong foto asli ukuran besar koleksi buku itu, soalnya kan kalo jadi background hanya terlihat sebagian, hehe...
@Fanda : buku jumpa lhahiri yg satunya itu kumpulan cerpen "Penafsir Kepedihan" (Interpreter of Maladies)
aku baru baca yg nameshake, yg satunya belum sempat kubaca.
Untuk foto rak buku yg jadi backgound, nanti coba kucari filenya dulu ya.. :)
wah.. ngeri bnaget liat gmbarnya...
pasti bukunya bangus deh....
Post a Comment