Wednesday, October 08, 2014

Luka Tanah by Hary B Kori'un

[No. 342]
Judul : Luka Tanah
Penulis : Hary B Kori'un
Penerbit : Palagan Press
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : 174 hlm
ISBN : 9786029665161

Luka tanah adalah sebuah novel tentang cinta terlarang dua anak manusia yang dikemas dalam balutan isu-isu sosial seperti kemelut tanah di daerah transmigrasi, isu komunisme, dan kondisi pasca bencana gempa di Jambi dan Tsunami di Aceh.

Novel ini berkisah tentang seorang tokoh bernama Rama  yang terobsesi  untuk mencari tahu mengapa ayahnya diculik orang tak dikenal di sebuah desa pedalaman di Sumatera ketika ia masih berumur satu tahun. Setelah ayahnya diculik, ibunya membawanya ke Jakarta, disana ia dibesarkan dan ekolah hingga lulus menjadi Sarjana Hukum. Setelah selesai menyelesaikan studinya, Rama kembali ke Desa Sukadana-Sumatera, tanah kelahirannya untuk mencari tau mengapa ayahnya diculik.  Di sana, ia menemukan rumah lamanya yang kosong dan tidak terawat. Ia pun memugarnya dan tinggal di sana. Di rumah itulah, lewat mimpi, dia bisa bertemu dengan ayahnya, dan lewat mimpinya ini pula ia  menyaksikan bagaimana ayahnya lolos dari lubang maut karena dituduh sebagai komunis paska peristiwa G/30S 

Malangnya ketika tinggal di Sukadana, terjadi kerusuhan etnis yang melibatkan penduduk setempat dengan para  transmigrasi asal Jawa. Rama dianggap sebagai provokatornya selain karena ia aktif memberikan edukasi sosial kepada masyarakat setempat ia juga diketahui oleh aparat setempat sebagai anak seorang keturunan PKI.  Rama ditangkap polisi dan kemudian dipenjara.Semenjak itu hidupnya terus dibayang-bayangi oleh aparat. 

Setelah keluar dari penjara, Rama menjadi aktifis kemanusiaan yang tergabung dalam sebuah LSM . Dia selalu ada di wilayah-wilayah bencana yang membutuhkan relawan seperti gempa, tsunami, dll. Saat gempa 1995 di Kabupaten Kerinci (Jambi) dia berkenalan dan kemudian jatuh cinta dengan Kartika, seorang dokter  yang telah memiliki suami dan anak. Keduanya kemudian terlibat cinta terlarang, namun kemudian mereka tersadar dan berjanji saling melupakan. Untuk melupakan cintanya pada Kartika Rama terus berkelana, ia menjadi relawan yang idealis dan berdedikasi. Sepuluh tahun kemudian ketika Tsunami melanda Aceh, ia pun pergi ke sana. Di Aceh Rama bertemu dengan Sasa seorang gadis relawan yang usianya sepuluh tahun lebih muda darinya. Ada percik cinta diantara mereka, namun kali ini pun Rama harus meredam cintanya karena ternyata Sasa memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan cinta terlarangnya di masa lampau dengan Kartika. 

Yang menarik dari novel ini bukanlah hanya kisah cinta Rama dan Kartika melainkan nuansa dan isu-situ sosial yang membalut novel ini. Dalam isu komunisme ada  kisah bagaimana paska G30S banyak orang dieksekusi aparat dan rakyat tanpa diadili, lalu bagaimana stigma komunis yang terus melekat hingga keturunan orang yang pernah dituduh komunis seperti halnya tokoh Rama.

Sesuai judulnya, di novel ini juga mengungkap konflik tanah di daerah transmigrasi yang dipicu oleh kecemburuan sosial antara penduduk asli dengan para transmigran Jawa. Hal ini memicu terjadinya perang antar dusun. Hal yang sangat krusial dan berbahaya karena biasanya jika menyangkut hal tanah orang tidak segan saling bunuh untuk mempertahankan tanahnya.

Derita dan perjuangan para transmigran juga terungkap di novel ini, di sini pembaca diajak melihat realita bahwa kehidupan para transmigran tidaklah semudah atau semakmur apa yang digembar-gemborkan pemerintah.

"Sampai empat musim tanam, hasil panen kami melimpah, namun di tahun kelima dan seterusnya, setelah humus tanah habis, semua menjadi lain. Sejak saat itulah, ketika tanah ini sudah tak subur lagi dan kami tak memiliki uang untuk membeli pupuk, kami mulai menemukan saat-saat yang buruk. Banyak dari transmigran yang akhirnya menjual tanah dan rumahnya dengan murah dan memilih pulang ke kampung asalnya di Jawa. " 
(hlm 93)
Selain tentang tanah, masalah-masalah yang dihadapi para pengungsi dan relawan di daerah yang terkena bencana  juga terungkap di novel ini
"Di mana-mana warga resah. Bantuan tidak merata. Hanya daerah yang keluar di televisi dan ditulis di koran saja yang mendapat bantuan, sementara desa-desa yang tak terjangkau oleh wartawan, dibiarkan tanpa bantuan..." 
(hm, 16)

Para pelancong yang kerap datang ke daerah bencana dan para pejabat atau artis  yang memanfaatkan bencana sebagai ajang cari muka juga diungkapkan penulis dalam novel ini.

"...saat ini banyak pihak yang memanfaatkan bencana ini sebagai ajang cari muka. Entah itu pejabat negara, pejabat daerah yang ingin naik pangkat dan orang-orang oportunitis lainnya. Tak ketinggalan, para istri mereka yang tak pernah memegang mayat dan lumpur, tiba-tiba datang dengan membawa organisasi yang entah apa namanya dan segudang bantuan untuk menjelaskan kepeduliannya. Hal yang sama juga dilakukan banyak artis , mulai dari model, penyanyi, sampai bintang sinetron, untuk mendongkrak popularitas mereka. ..... sementara banyak yang ingin membantu relawan dengan ikhlas, tidak bisa berangkat karena tiket pesawat sudah di-booking oleh orang-orang...pelancong itu..." 
(hlm 132)

Masih banyak hal-hal menarik menyangkut isu-isu sosial yang terungkap dalam novel ini, untungnya penulis memasukkan isu-isu tersebut dengan baik dan dalam komposisi yang tidak berlebihan sehingga semua itu melarut dalam alur kisahnya. Yang mungkin membuat novel ini agak sukar dinikmati adalah alur kisah yang melompat-lompat maju-mundur dalam rentang 10 tahun ( 1996, 2003, 2004, 2006 ) dan tokoh 'aku' / pencerita yang berganti-ganti, misalnya di satu bab tokoh Rama yang jadi pengisahnya namun di bab lain tokoh Kartika atau Sasa yang menjadi 'aku' sebagai pengisahnya.

Selain itu petunjuk yang akhirnya diperoleh Rama mengenai alasan ayahnya diculik beserta masa lalunya yang tragis melalui sebuah mimpi saya rasa terlalu dipaksakan. Alangkah baiknya kalau petunjuk itu diperoleh Rama melalui hal-hal yang alami seperti kisah tetangga, atau saksi-saksi hidup yang mengetahui dengan pasti tragedi yang pernah dialami ayahnya di masa lampau.

Terlepas dari hal itu novel ini memiliki kisah dan latar kisah yang menarik. Bukan hanya kisah cinta dan konflik antara tokoh utamanya saja melainkan isu-isu sosial yang diangkat dalam novel ini membuat novel ini menjadi istimewa dan menambah wawasan pembacanya. Novel ini juga  menggugah kesadaran pembacanya akan konfilk yang terjadi karena tanah yang luka. Luka karena diperebutkan, luka karena menyimpan kepedihan sejarah manusia yang mendiaminya, dan tanah yang luka karena bencana.

@htanzil

2 comments:

Fauziyyah Arimi said...

kesan yang saya dapet dari review ini, kisahnya kaya. hebatnya, itu semua dimampatkan dalam 174 hlmn hib? serius? wah!

htanzil said...

@Fauziyyah : betul, makanya saya sebut di review ini kalau penempatan isu2 tersebut tersaji dengan pas, dalam artian tidak berlebihan dan tidak kurang. Dan semuanya menyatu dalam kisahnya.